HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.
Pendahuluan.
Masalah HAM menjadi salah satu pusat
perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia
tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi,
di tingkat nasional maupun internasional. Kaum muslim di seluruh dunia, sebagai
bagian integral dari masyarakat internasional, mempunyai perhatian
sungguh-sungguh terhadap isu global ini. Sebagai kelompok masyarakat yang
memiliki warisan tradisi peradaban yang sangat kaya, kaum muslim tidak pernah
diam memberikan respon terhadap setiap isu penting yang berkembang dalam setiap
zaman. Islam, seperti kita ketahui bersama, adalah ajaran yang dinamis. Ia
selalu mendorong umatnya menemukan hal-hal baru demi kemajuan umat manusia.
Sepanjang keberadaannya, Islam telah membangun peradaban besar yang sudah
memberikan sumbangan yang sangat mementukan dalam sejarah peradaban umat
manusia hingga ke zaman kita sekarang ini. Demikian pula sumbangannya dalam
rangka mengakui dan menghormati harkat dan martabat manusia. Tidak berlebihan
kiranya, jika kita mengatakan Islam adalah agama kemanusiaan (religion of
humanity).
Ketika kita melangkah untuk memahami
Islam dalam perspektif HAM, kita selalu akan dihadapkan pada pertanyaan
akademis: apakah Islam memang memberikan pengajaran di bidang ini? Secara
umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam adalah agama komprehensif, karena
al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad saw adalah kitab yang berfungsi "memberikan petujuk dan penjelas
atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda" antara kebenaran dengan
kesalahan (al-furqan). Ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusiawi, walaupun untuk
bidang-bidang tertentu ia hanya memberikan rumusan-rumusan umum yang senantiasa
dapat dipikirkan, direnungkan dan diformulasikan untuk menghadapi tantangan
perubahan zaman. Selain itu, corak rasionalitas ajaran Islam yang senantiasa
mendorong umatnya untuk berpikir kreatif dengan berlandaskan kepada sumber
ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan al-Hadits, akan senantiasa mendorong umatnya
menemukan gagasan-gagasan dan konsepsi baru untuk menjawab tantangan zaman.
Al-Qur'an sendiri mengatakan "siapa berusaha dengan sungguh-sungguh di
jalan Kami, maka Kami akan menunjukinya jalan-jalan Kami".
Persoalan HAM berkait erat dengan konsepsi filosofis
dengan suatu aliran pemikiran tentang manusia.[1]
Perbedaan pandangan metafisik terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan
konsepsi manusia tentang kehidupan pribadi dan sosial manusia. Meskipun perbedaan metafisik ini
telah dimulai sejak ribuan tahun lalu, namun masalah itu belum sepenuhnya dapat
terjawab dengan memuaskan. Manusia tetap saja menjadi misteri besar dari semua
eksistensi. Hingga sekarang ironisnya, manusia sebenarnya belum mempunyai
pemahaman utuh dan konfrehensif tentang dirinya. Ajaran-ajaran Islam juga
memberikan dasar-dasar pemahaman tentang manusia dan hak-hak asasinya, yang
sampai sekarang menjadi sumber yang tidak pernah kering dalam membahas
hak-hak manusia baik dari sudut pandang filsafat ataupun ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah kajian empirik untuk
tujuan deskriptif atau evaluatif sekalipun, diskursus tentang Islam dan Hak
Asasi Manusia menemukan relevansinya. Walau demikian keterbatasan akses
terhadap realitas empirik, makalah ini membatasi diri pada diskursus Islam
dan Hak Asasi Manusia di mana Islam dimaknai sebagai ajaran. Dengan
demikian, analisis dalam diskursus ini lebih bersifat filosofik, deduktif, dan
komparatif.
1.
Hak Asasi Manusia: Makna dan
Historisitas.
Dari membandingkan beberapa definisi
tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu nilai yang diinginkan seseorang
untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan
kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya.[2]
Hak itu mengimplisitkan kewajiban,
karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai
tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat, adalah
mustahil membicarakan tanpa secara langsung mengaitkan hak itu dengan kewajiban
orang atau pihak lain.
Dari sejumlah hak-hak manusia itu
ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung makna bahwa subjek yang
memiliki hak semacam itu adalah manusia secara keseluruhan, tanpa membedakan
status, suku, adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa
mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak
asasi manusia haruslah sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua
peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Kesadaran akan hak asasi dalam
peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap
keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau
manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah,
masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan
atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak
mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka
diperlakukan sewenang-sewenang oleh lapisan atas. Kesadaran itu memicu
upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM, menurut catatan sejarah HAM
berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam
sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan
keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan
Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun
1628, Habeas Corpus Act tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun
1689 serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen tahun 1789
di Prancis.[3]
Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian
Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat
tahun 1789.
Setelah berakhirnya perang dunia I
dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM internasional : Universal
Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948, dan disusul
dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant
on Economic, Social and Cultur Rights tahun 1966 dan Optional
Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Kempat
dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The International Bill
Of Human Rights.
Dokumen-dokumen tersebut merupakan
instrumen normatif HAM internasional yang harus dihormati dan dipatuhi oleh
setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on Civil and
Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat
diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya
hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati.
Adanya pengakuan dan perlindungan
kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut menunjukkan adanya kemajuan
dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar negara. HAM yang dulu lebih
merupakan urusan dalam negri masing-masing negara telah bergeser menjadi nilai
dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya persetujuan semua
negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota PBB terhadap deklarasi,
konvensi dan konvenan HAM internasional.
Deklarasi
PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori:
- Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk hidup (pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (pasal 20-21).
- Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan (tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup, termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam kegiatan kebudayaan.
- Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).
Hak-hak asasi manusia di atas,
walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa dari pelbagai penjuru
dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran dan anak
peradaban barat.
Pengaturan HAM di Indonesia dapat
dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pembukaan
dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundangan lain diluar
UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan proses peradilan dalam UU No. 14
Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya. Sedangkan konsepsi HAM bangsa
Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang Pembangunan Hukum yang
menyatakan bahwa :
"HAM sebagai anugrah Tuhan Yang
Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan
Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan beribadat menurut agama
masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan melalui
perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh
pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh
kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman,
hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan
berkumpul."
Dari latar historis beberapa
perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di
depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau
tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis tentang struktur
deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang melahirkannya,
dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat
HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa
manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat
atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif
antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.
2.
Islam dan Hak Asasi Manusia
Cara
pandang Islam terhadap HAM tidak terelepas dari cara pandangnya terhadap status
dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (Q.S.
Al-Israa’/17 :70), (Q.S. Al-Hijr/15 :28-29) dan fungsional (Q.S. Al-An’aam/6
:165) serta (Q.S. Al-Ahzab/33 :72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik
kepada kehidupan yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas
empirik) agar ia dapat terpuji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan
ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan
bukan sebagai penguasa. Dalam satus terhormat dan fungsi mandataris ini,
manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah (karena itu, Allah semata yang
mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu
merupakan amanah yang diemban (Q.S. Al-Ahzab/33 :72), sebagai realisasi
perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (Q.S. At-Taubah/9
:111).
Walaupun manusia mempunyai
kewajiban-kewajiban kepada penciptanya, namun kewajiban-kewajiban ini pada
gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungan antar sesama
manusia. Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan
dengan benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan
hubungan antar sesama manusia, seperti hak perasamaan, hak kebebasan dan
memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu
merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah.
Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda
dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar
kepada Allah sebagai pusat kehidupan).[4]
Penghargaan kepada hak asasi manusi,
dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran
kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini kami mencoba memaparkan
konsep dasar HAM dalam Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis .
3.
Pandangan
Al-Qur'an.
HAM yang dijamin oleh Islam seperti yang diatur dalam al-Qur'an
sebagai sumber dan dasar ajaran Islam bagi manusia.[5]
HAM dasar terdapat dalam al-Quran terdiri dari :
a)
Hak
atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan
keberadaannya harus dipelihara (hifd al-nafs), sebagaiman firman Allah
dalam al-Qur'an Surat (Q.S Al-Isra'/15 :33) yaitu membunuh orang hanya
dibolehkan karena ada alasan yang benar, misalnya qishas bagi orang yang
terbukti membunuh orang lain dengan sengaja
b)
Pengamanan
hak milik pribadi (Q.S. Al-Baqarah/2 :181).
c)
Keamanan
dan kesucian kehidupan pribadi (Q.S. An-nur/24 :27)
d)
Hak
untuk memperoleh keadilan hukum (Q.S. :)
e)
Hak
untuk menolak kezhaliman (Q.S. An-Nisa'/4 :148
f)
Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma'ruf wa al-nahyu 'an
al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan
kritik (Q.S. Al-A'raf/7 :165 dan Q.S. Al-Baqarah/2 :110).
g)
Kebebasan
berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan
dengan hak asasi pada huruf (f), yakni tujuan untuk menegakkan yang
ma'ruf dan mencegah yang munkar.
h)
Hak
keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat al-Qur'an yang melarang
pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah (Q.S.
Ali Imran/3 :100 ).
i)
Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan
yang dilakukannya. Dengan kata lain seorang harus dianggap tidak bersalah, jika
ia belum terbukti melakukan kejahatan.
j)
Hak
memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan seseorang atas
orang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).[6]
- Implementasi HAM dalam Islam.
Ajaran Islam tentang HAM di atas
telah diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat pada zaman Nabi Muhammad
saw dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) seperti tersirat dalam
beberapa Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.
1.
Petuah Rasulullah SAW kepada seorang
wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas anjuran Usamah :
"Dari
Urwah, dari 'Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat menganjurkan kepada
seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata, 'berapa bangsa sebelummu
telah dihancurkan, karena mereka menjatuhkan hukuman kepada masyarakat kelas
bawah, tetapi tidak menghukum anggota masyarakat kelas atas (pada waktu mereka
melakukan tindak kejahatan). Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku,
andaikata anak perempuanku Fatimah melakukannya, tentu saya potong
tangannya'."[7]
2.
Persetujuan Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya:
"Dalam
peristiwa perang badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang dianggap pantas
untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar, bertanya
kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat khusus itu karena berasal
dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan ucapan itu Hubab bin
Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk memberikan
serangan terhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu secara
strategis lebih baik tempatnya. Nabi menyetujuinya".[8]
3.
Perjanjian
Rasulullah dengan golongan Kristen Najran :
"Dari
Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta,
rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak
mereka; semunya akan berada dibawah lindungan Allah dan nabinya; tidak ada
uskup yang diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang yang akan
diberhentikan dari biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari
posnya, dan tidak akan terjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah
nikmati sejak lama.[9]
4.
Pesan Khalifah Abu Bakar ketika
mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:
"Hendaklah
kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu ikrarkan. Jangan memenggal seseorangpun.
Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan. atau membakar pohon-pohon
kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan
bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali untuk sekedar dimakan.
Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah mengundurkan
diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan kegiatan mereka dalam
keadaan yang damai."[10]
5.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia
yang termaktub di dalam Piagam Nabi (Kitab an-Nabi) yang oleh beberapa
ahli hukum tata Negara dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia
yakni dokumen historis tentang aturan-aturan dasar penyelenggraan Madinah
sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Ketika hijrah
ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah, penduduk kota itu tidaklah homogen.
Paling tidak terdapat kelompok kaum muslimin, yang terdiri dari dua bagian,
yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok keagamaan Yahudi dan kelompok masyarakat
Arab yang menganut Paganisme.
Setibanya
di Yatsrib, Nabi segera mengadakan fakta kesepakatan bersama dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu untuk menyatukan mereka ke dalam
komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah. Sekarang setelah beberapa
serjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks ini, mereka dengan mudah
mensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47 Pasal, yang di dalamnya memuat
rumusan-rumusan penting tentang hak asasi manusia.[11]
Penegasan
yang terpenting yang termaktub dalam Piagam Madinah yaitu pengakuan terhadap
pluralitas masyarakat, yang dalam hak-hak dan kewajiban adalah sama tanpa
membedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki otonomi ke
dalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan hubungan ke luar yang
harus dilakukan atas nama Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw sebagai
kesatuan komunitas. Nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin komunitas ini,
tetapi beliau tidaklah menjadi seorang autokrat karena hukum Tuhan diatas
segala-galanya dan setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan prinsip musyawarah.
Karena masyarakatnya sangat majemuk, maka dalam komunitas Madinah diberlakukan
berbagai subsistem hukum. Dalam arti kaum muslimin tunduk kepada hukum Islam,
sementara kaum Yahudi tunduk kepada hukum Taurat dan penganut paganisme tunduk
kepada hukum adat mereka.
Kebebasan
menjalankan ibadah keagamaan dengan sendirinya dijamin dalam teks Piagam
Madinah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya Islam menegaskan bahwa
keyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan terhadap seseorang, meskipun dakwah
wajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapat jaminan
keselamatan pribadi dan kelompok semuanya dijamin dalam piagam, demikian pula
hak untuk ikut serta dalam pembelaan komunitas, jika diserang oleh kelompok
diluarnya. Dengan demikian, partisipasi dalam penyelenggaraaan kehidupan
ekonomi, sosial dan politik terbuka bagi semua orang.
Meskipun
dokumen-dokumen yang diwariskan oleh Islam tetap ada dan tetap terpelihara oleh
jutaan kaum di seluruh dunia, namun masih saja terdapat anggapan bahwa hak
asasi manusia, dianggap seolah-olah sesuatu yang asing dari khazanah peradaban
kaum Muslimin. Anggapan seperti itu patut kita sesali, mengingat rujukan
akademis dan intelektual di banyak masyarakat Timur hingga sekarang tetap
mengacu ke dunia Barat. Sehingga tidak mengherankan jika timbul kritik terhadap
kaum intelektual di Asia dan Afrika, dimana mereka dituduh sebgai "orang
Barat di negeri Timur". Namun perkembangan yang terjadi dalam masyarkat
Islam sekarang ini telah memberikan harapan baru untuk mewarisi tradisi sejarah
peradaban umat manusia secara jujur dan berimbang. Penilain seperti itu tentu
bukan dimaksud sekedar memenuhi dahaga intelektual kaum cendikiawan, karena
langkah selanjutnya adalah bagaimana menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai
ajaran Islam itu kedalam kehidupan umat manusia dalam mengadapi tantangan
zaman.
Seiring
berjalannya waktu berbagai dinamika dan dialektika mempengaruhi konsep asasi
dari hak asasi manusia, terutama dalam penilaian penerapan hak asasi manusia
pada suatu bangsa. Penilaian terhadap pelaksanaan hak asasi manusia di suatu
negara, hendaklah dilakukan secara jujur dan proporsional serta dilandasi oleh
iktikad yang baik, dengan kesadaran bahwa masalah ini adalah perjuangan
kemanusiaan yang sangat penting. Tetapi, adalah tidak jujur dan tidak adil,
jika menjadikan isu hak asasi manusia sebagai alat untuk melakukan penekanaan
politik terhadap negara-negara berkembang dan negara baru, khususnya di Asia
dan Afrika, untuk kepentingan diri sendiri, apalagi dilakukan dengan standar
ganda. Lebih buruk lagi jika isu hak asasi manusia dijadikan sebagai “offensif
propoganda” untuk menyerang dan memojokkan satu bangsa sambil
menyembunyikan dan menutupi kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak
diserang lebih dahulu.[12]
Kebanyakan
kaum Muslimin merasakan akibat penerapan standar ganda dibidang hak asasi
manusia, sejak terjadinya peristiwa yang disebut sebagai serangan kaum teroris
terhadap gedung World Trade Center di New York pada tanggal 11 September
2001. Kita dapat memahami penegasan berbagai pihak bahwa perang melawan teroris
bukanlah ditujukan kepada kaum Muslimin, karena terorisme dapat dilakukan oleh
pemeluk agama apa saja di muka bumi ini. Namun akses negatif terhadap perang
terhadap terorisme yang dirancang Amerika Serikat itu kini lebih banyak
dirasakan oleh kaum Muslimin dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Akibatnya,
tidak jarang hak asasi manusia mereka abaikan, bahkan dilanggar secara
sewenang-wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis, rasialis, xenophobia dan
Islamophobia kini seakan-akan muncul lagi dalam percaturan politik antar
bangsa. Fenomena ini sangat ironis terjadi di tengah abad yang justru di awal
kelahirannya memberikan banyak harapan terhadap penghormatan dan penegakan hak
asasi manusia. Dominasi pemberitaan media massa sering pula dimanfaatkan untuk
membangun persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdaya melakukan
bantahan dan klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.
Bagi kita Muslimin Indonesia, adalah tugas dan
kewajiban kita untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam adalah cinta damai
dan agama yang menghormati hak asasi manusia, betapapun kini kita menghadapi
kenyataan-kenyataan pahit yang menyesakkan dada. Kita berkewajiban
merealisasikan apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa "kalian adalah
sebaik-baik umat (khairah ummah) yang kami tonjolkan kepada semua umat
manusia karena kalian selalu mengajak manusia kerah kebaikan dan mencegah
kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah’ (Q.S Ali Imran : 110). Perjuangan
kerah itu memang tidak mudah, panjang dan berliku-liku. Namun kaum Muslimin
tetap tidak boleh putus asa menghadapi segala kenyataan. Di awal tahun baru
ini, masih ada secerca harapan untuk membangun hari depan yang lebih baik.
B.
Penutup.
Hak
dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi
dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan
mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia
sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak
pemenuhannya.
Setelah
melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak
10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi
Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang
untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau
negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi
tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia
dalam perspektif anthroposentris.
Hak-hak
asasi manusia memperoleh landasan dalam Islam melalui ajarannya yang paling
utama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam
Islam lebih dipandang dalam perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran
tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan
keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kebebasan manusia. Prinsip tersebut
telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat Muslim awal,
sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan barat. Wallu a'lam
bi al-shawab.
Daftar Pustaka
al-Bukhari.1978. Shahih al-Bukhari, Juz
15. Bairut: Dar Fikri
Fatah Santoso, Islam dan Hak Asasi
Manusia. Akademika
IX ( 03, 1993)
Gauhar,
Altafed. 1978. The Challenge of Islam. London : Islamic Council of
Europe dalam Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika IX (
03, 1993)
Sumantri,
M Sri Refleksi HAM di Indonesia
Mahendra,Yusril
Izza.2003 .“Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah
Islamiyah, Volume 1 (Nomor 1, 2003)
M.Timur.1987.
Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia.
Hussain,
Syekh Syukat. 1996. Hak asasi Mausia Dalam Islam. Jakarta: Gema
Insani Press.
Thoyyar, Huzni. 1998. "Polemik
hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X,
(Februari, 1998)
Catatan Kaki;
[1] Yusril Izza Mahendra, “Konsepsi
Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, 1, 2003.hal.
134-137
[5] Syekh Syukat Hussain.1996. Hak
asasi Mausia Dalam Islam. Terjemahan Abdul Rahim C.N , Jakarta: Insani
Press. Hal. 59
[6] Huzni Thoyyar. "Polemik
hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X,
Februari, 1998. hal. 72
[8] Altaf Gauhar, ed. 1978. The
Challenge of Islam. London : Islamic Council of Europe dalam Fatah
Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika, 03, 1993.19.