Perempuan dalam Perspektif Islam
Salah
satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan
antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,
suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan
atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada
Tuhan Yang Mahaesa.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki
dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan
perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau
dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian
yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad
Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir,
menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun,
maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi
dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan
mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan
Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak
dijadikan bahan perbandingan."190
Almarhum
Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di
Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir
dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan
sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan
Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang
menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan
yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."191
Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan
tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan,
sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan
yang tidak dibenarkan itu. Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang
bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal
kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
Berbedakah
asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan
kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah
setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan
benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Demikian
sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak
sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam
dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat
abad ke-20 ini. Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh
Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari
jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak”.
Demikian
Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan)
dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa
dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik
yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar
bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya) yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ
خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء.
“Saling
pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi
dari sahabat Abu Hurairah).”
Benar
ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan
kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup
banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak
tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian
II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat
yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."192
Tulang
rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti
bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki
untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana
fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.Memahami hadis di atas seperti
yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang
telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70
ditegaskan bahwa:
“Sesungguhnya
Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan”.
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula
penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya,
baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah
Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain,
dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal
dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni
perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama
manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan
kemanusiaannya. Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
“Sesungguhnya
Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun
perempuan (QS 3:195).”
Pandangan
masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis
oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran
seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan. Dan apabila
seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah
padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan
kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah!
Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat
ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis
segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam
bidang kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan
rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada
lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran
Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa
perbedaan, seperti:
Maka
setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari
keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun
ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam),
yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah:
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata:
"Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang
tidak akan punah?" (QS 20:120). Demikian terlihat bahwa Al-Quran
mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala
pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal
kejadiannya.
Al-Quran
berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut
menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan
kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh
perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan. Secara umum surah Al-Nisa' ayat
32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi
lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan
hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.Berikut ini akan dikemukakan
beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
1.
Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah
satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan
dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah
ayat 71:
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya'
bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf,
mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara
umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja
sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan
dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata
awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan,
sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang
ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk
memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan
perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai
bidang kehidupan.193
Keikutsertaan
perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat
disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari
kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
“Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak
termasuk golongan mereka.”
Kepentingan
(urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas
sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya.
Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang
kehidupan politik.194Di
sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk
bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya.
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat
ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah merupakan
salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut
Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam
kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas
dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak
tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami
sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat
--termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan
betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali.
Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk
melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12. Sementara, pakar agama Islam
menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk
menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak
mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda
dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang
berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus
diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah
Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai
bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata
mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik
perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak
sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan
makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa'
34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap
seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun
tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan
harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan
sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi
Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik
(jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi
Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan
'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar
dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah
Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama
Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat
Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama
para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam
politik praktis sekalipun.
Kalau
kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka
aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama
orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara
singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa
"perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan
dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka
ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam
peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu
Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah,
dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang
menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan
Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan
Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di
samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai
bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim
binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay196
--istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan
sebagainya.
Dalam
bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid,
tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani
Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi
untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat
Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain
pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:Apabila Anda akan membeli atau
menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau
menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri
Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi
Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197
Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar
r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw.
banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan
waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat.
Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
“Sebaik-baik
"permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah
memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi'
Al-Anshari).”
Aisyah
r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih
baik daripada tombak di tangan lelaki."
Tentu
saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah
ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada
akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama
ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma
agama dan susila tetap terpelihara. Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak
untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang
oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu
jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan
masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya
menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam
beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap
orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat
diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat
bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan
masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai
pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.199
3.
Hak
dan Kewajiban Belajar
Terlalu
banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban
belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan.
Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Bacalah demi
Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para
malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki
pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik
lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin,
mereka semua dituntut untuk belajar. Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
Muslim (dan Muslimah). Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar
kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia
menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu
pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran
memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang
kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal
tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak
terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti
dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah
Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka
Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki
maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini
berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian
mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang
mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya
berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami
bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan
kecenderungan mereka masing-masing. Banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan
sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat
dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal
secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai
pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah
setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian
juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian
Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah
salah seorang guru Imam Syafi'i200
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya. Imam Abu Hayyan mencatat tiga
nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat
Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat
Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201
Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul
saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap
perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi
juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu,
sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri,
dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi,
memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada
akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam
bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya
dalam bidang ini.202
Harus
diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan
seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin
ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut
namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun
pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini. Dalam hal
ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan
mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya
kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga,
pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan
yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih
banyak daripada soal-soal keagamaan."203
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang
pendidikan.
Tentunya
masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan
dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa
mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara
sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat
dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi
dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin
itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan atas yang lain:
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian
kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari
apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa
yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).”
Maha
Benar Allah dalam segala firman-Nya.
Catatan kaki
190
Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub
Al-Haditsah, 1964, h. 138.
191
Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil
Azhar, 1959, h. 193
192
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV,
h. 330.
193
Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam
Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194
Ibid.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar