Selasa, 30 Desember 2014

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM


HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.       Pendahuluan.
Masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial, politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional. Kaum muslim di seluruh dunia, sebagai bagian integral dari masyarakat internasional, mempunyai perhatian sungguh-sungguh terhadap isu global ini. Sebagai kelompok masyarakat yang memiliki warisan tradisi peradaban yang sangat kaya, kaum muslim tidak pernah diam memberikan respon terhadap setiap isu penting yang berkembang dalam setiap zaman. Islam, seperti kita ketahui bersama, adalah ajaran yang dinamis. Ia selalu mendorong umatnya menemukan hal-hal baru demi kemajuan umat manusia. Sepanjang keberadaannya, Islam telah membangun peradaban besar yang sudah memberikan sumbangan yang sangat mementukan dalam sejarah peradaban umat manusia hingga ke zaman kita sekarang ini. Demikian pula sumbangannya dalam rangka mengakui dan menghormati harkat dan martabat manusia. Tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan Islam adalah agama kemanusiaan (religion of humanity).
Ketika kita melangkah untuk memahami Islam dalam perspektif HAM, kita selalu akan dihadapkan pada pertanyaan akademis: apakah Islam memang  memberikan pengajaran di bidang ini? Secara umum, kita tentu dapat menjawab bahwa Islam adalah agama komprehensif, karena al-Qur'an yang merupakan himpunan wahyu Ilahi yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw adalah kitab yang berfungsi "memberikan petujuk dan penjelas atas petunjuk itu (al-bayan) serta pembeda" antara kebenaran dengan kesalahan (al-furqan). Ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusiawi, walaupun untuk bidang-bidang tertentu ia hanya memberikan rumusan-rumusan umum yang senantiasa dapat dipikirkan, direnungkan dan diformulasikan untuk menghadapi tantangan perubahan zaman. Selain itu, corak rasionalitas ajaran Islam yang senantiasa mendorong umatnya untuk berpikir kreatif dengan berlandaskan kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan al-Hadits, akan senantiasa mendorong umatnya menemukan gagasan-gagasan dan konsepsi baru untuk menjawab tantangan zaman. Al-Qur'an sendiri mengatakan "siapa berusaha dengan sungguh-sungguh di jalan Kami, maka Kami akan menunjukinya jalan-jalan Kami".
Persoalan HAM berkait erat dengan konsepsi filosofis dengan suatu aliran pemikiran tentang manusia.[1] Perbedaan pandangan metafisik terhadap manusia inilah yang melahirkan perbedaan konsepsi manusia tentang kehidupan pribadi dan sosial manusia. Meskipun perbedaan metafisik ini telah dimulai sejak ribuan tahun lalu, namun masalah itu belum sepenuhnya dapat terjawab dengan memuaskan. Manusia tetap saja menjadi misteri besar dari semua eksistensi. Hingga sekarang ironisnya, manusia sebenarnya belum mempunyai pemahaman utuh dan konfrehensif tentang dirinya. Ajaran-ajaran Islam juga memberikan dasar-dasar pemahaman tentang manusia dan hak-hak asasinya, yang sampai sekarang menjadi sumber yang  tidak pernah kering dalam membahas hak-hak manusia baik dari sudut pandang filsafat ataupun ilmu pengetahuan.
Sebagai sebuah kajian empirik untuk tujuan deskriptif atau evaluatif sekalipun, diskursus tentang Islam dan Hak Asasi Manusia menemukan relevansinya. Walau demikian keterbatasan akses terhadap realitas empirik, makalah ini membatasi diri pada diskursus Islam dan Hak Asasi Manusia di mana Islam dimaknai sebagai ajaran. Dengan demikian, analisis dalam diskursus ini lebih bersifat filosofik, deduktif, dan komparatif.
1.         Hak Asasi Manusia: Makna dan Historisitas.
 
Dari membandingkan beberapa definisi tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya.[2]
Hak itu mengimplisitkan kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil membicarakan tanpa secara langsung mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak lain.
Dari sejumlah hak-hak manusia itu ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah manusia secara keseluruhan, tanpa membedakan status, suku, adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak asasi manusia haruslah sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18 Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas, minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak  mempunyai hak-hak tetapi hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang oleh lapisan atas. Kesadaran itu memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM, menurut catatan sejarah HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun 1628, Habeas Corpus Act  tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun 1689 serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen  tahun 1789 di Prancis.[3] Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat tahun 1789.
Setelah berakhirnya perang dunia I dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan HAM internasional : Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948, dan disusul dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant on Economic, Social and Cultur Rights  tahun 1966 dan Optional Protocol to he Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966. Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai The International  Bill Of  Human Rights.
Dokumen-dokumen tersebut merupakan instrumen normatif HAM internasional yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam  Covenant on Civil and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya hak-hak yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati.
Adanya pengakuan dan perlindungan kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar negara. HAM yang dulu lebih merupakan urusan dalam negri masing-masing negara telah bergeser menjadi nilai dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya persetujuan semua negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota  PBB terhadap deklarasi, konvensi dan konvenan HAM internasional.
Deklarasi PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori:
  1. Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk hidup (pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib sosial (pasal 5, dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak untuk bebas berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul dan berserikat (pasal 20-21).
  2. Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan (tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup, termasuk perumahan dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam kegiatan kebudayaan.
  3. Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).
Hak-hak asasi manusia di atas, walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh bangsa dari pelbagai penjuru dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran dan anak peradaban barat.  
Pengaturan HAM di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta peraturan perundangan lain diluar UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan proses peradilan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya. Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang Pembangunan Hukum yang menyatakan bahwa :
"HAM sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia dan Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan beribadat menurut agama masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan melalui perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul."    
Dari latar historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan terhadap kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis  tentang struktur deklarasi PBB, serta kesadaran historis tentang peradaban yang melahirkannya, dapatlah diidentifikasi karektaristik utama HAM. Perspektif Barat dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.  
 
2.      Islam dan Hak Asasi Manusia
Cara pandang Islam terhadap HAM tidak terelepas dari cara pandangnya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat (Q.S. Al-Israa’/17 :70), (Q.S. Al-Hijr/15 :28-29) dan fungsional (Q.S. Al-An’aam/6 :165) serta (Q.S. Al-Ahzab/33 :72). Dari eksistensi ideal, manusia ditarik kepada kehidupan yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas empirik) agar ia dapat terpuji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan bukan sebagai penguasa. Dalam satus terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban kepada Allah (karena itu, Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukumnya. Semua kewajiban itu merupakan amanah yang diemban (Q.S. Al-Ahzab/33 :72), sebagai realisasi perjanjiannya dengan Allah pada awal mula penciptaannya (Q.S. At-Taubah/9 :111).
Walaupun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada penciptanya, namun kewajiban-kewajiban ini pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan dengan benar, akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia, seperti hak perasamaan, hak kebebasan dan memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal itu merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah. Karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat anthroposentris, tetapi bersifat theosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan).[4]
Penghargaan kepada hak asasi manusi, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan yaitu kesadaran kepada Allah sebagai pusat kehidupan. Dibawah ini kami mencoba memaparkan konsep dasar HAM dalam Islam  yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis .
3.      Pandangan Al-Qur'an.          
HAM yang dijamin oleh Islam seperti yang diatur dalam al-Qur'an sebagai sumber dan dasar ajaran Islam bagi manusia.[5]  HAM dasar terdapat dalam al-Quran terdiri dari :
a)            Hak atas keselamatan jiwa. Dalam Islam jiwa seseorang sangat dihormati dan keberadaannya harus dipelihara (hifd al-nafs), sebagaiman firman Allah dalam al-Qur'an Surat (Q.S Al-Isra'/15 :33) yaitu membunuh orang hanya dibolehkan karena ada alasan yang benar, misalnya qishas bagi orang yang terbukti membunuh orang lain dengan sengaja
b)            Pengamanan hak milik pribadi (Q.S. Al-Baqarah/2  :181).
c)            Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi (Q.S. An-nur/24  :27)
d)           Hak untuk memperoleh keadilan hukum (Q.S. :)
e)            Hak untuk menolak kezhaliman (Q.S. An-Nisa'/4  :148
f)              Hak untuk melakukan al-amru bi al-ma'ruf wa al-nahyu 'an al-munkar, yang didalamnya juga mencakup hak-hak kebebasan memberikan kritik (Q.S. Al-A'raf/7  :165 dan Q.S. Al-Baqarah/2 :110).
g)            Kebebasan berkumpul demi tujuan kebaikan dan kebenaran. Kebebasan berkumpul ini berkaitan dengan hak asasi pada huruf  (f), yakni tujuan untuk menegakkan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
h)            Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat al-Qur'an yang melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya adalah (Q.S. Ali Imran/3 :100 ).
i)            Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang dilakukannya. Dengan kata lain seorang harus dianggap tidak bersalah, jika ia belum terbukti melakukan kejahatan.
j)              Hak memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan seseorang atas orang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).[6]
  1. Implementasi HAM dalam Islam.
Ajaran Islam tentang HAM di atas telah diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat pada zaman Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) seperti tersirat dalam beberapa Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.
1.              Petuah Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi kepadanya atas anjuran Usamah :
"Dari Urwah, dari 'Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat menganjurkan kepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata, 'berapa bangsa sebelummu telah dihancurkan, karena mereka menjatuhkan hukuman kepada masyarakat kelas bawah, tetapi tidak menghukum anggota masyarakat kelas atas (pada waktu mereka melakukan tindak kejahatan). Demi Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku Fatimah melakukannya, tentu saya potong tangannya'."[7]
2.              Persetujuan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya:
"Dalam peristiwa perang badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang dianggap pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin Mandhar, bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat khusus itu karena berasal dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan ucapan itu  Hubab bin Mandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif  untuk memberikan serangan terhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu secara strategis lebih baik tempatnya. Nabi menyetujuinya".[8]
3.              Perjanjian Rasulullah dengan golongan Kristen Najran :
"Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-pendeta, rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak mereka; semunya akan berada dibawah lindungan Allah dan nabinya; tidak ada uskup yang diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang yang akan diberhentikan dari biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari posnya, dan tidak akan terjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah nikmati sejak lama.[9]
4.              Pesan Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:
"Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu ikrarkan. Jangan memenggal seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan perempuan. atau membakar pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan. Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau unta-unta, kecuali untuk sekedar dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu dengan orang-orang yang telah mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka dan kegiatan mereka dalam keadaan yang damai."[10]
5.              Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termaktub di dalam Piagam Nabi (Kitab an-Nabi) yang oleh beberapa ahli hukum tata Negara dianggap sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yakni dokumen historis tentang aturan-aturan dasar penyelenggraan Madinah sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Ketika hijrah ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah, penduduk kota itu tidaklah homogen. Paling tidak terdapat kelompok kaum muslimin, yang terdiri dari dua bagian, yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok keagamaan Yahudi dan kelompok masyarakat Arab yang menganut Paganisme.
Setibanya di Yatsrib, Nabi segera mengadakan fakta kesepakatan bersama dengan kelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu untuk menyatukan mereka ke dalam komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah. Sekarang setelah beberapa serjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks ini, mereka dengan mudah mensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47 Pasal, yang di dalamnya memuat rumusan-rumusan penting tentang hak asasi manusia.[11]    
Penegasan yang terpenting yang termaktub dalam Piagam Madinah yaitu pengakuan terhadap pluralitas masyarakat, yang dalam hak-hak dan kewajiban adalah sama tanpa membedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki otonomi ke dalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan hubungan ke luar yang harus dilakukan atas nama Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw sebagai kesatuan komunitas. Nabi Muhammad diangkat sebagai pemimpin komunitas ini, tetapi beliau tidaklah menjadi seorang autokrat karena hukum Tuhan diatas segala-galanya dan setiap pengambilan keputusan dilakukan dengan prinsip musyawarah. Karena masyarakatnya sangat majemuk, maka dalam komunitas Madinah diberlakukan berbagai subsistem hukum. Dalam arti kaum muslimin tunduk kepada hukum Islam, sementara kaum Yahudi tunduk kepada hukum Taurat dan penganut paganisme tunduk kepada hukum adat mereka.
Kebebasan menjalankan ibadah keagamaan dengan sendirinya dijamin dalam teks Piagam Madinah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya Islam menegaskan bahwa keyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan terhadap seseorang, meskipun dakwah wajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan pribadi, hak untuk mendapat jaminan keselamatan pribadi dan kelompok semuanya dijamin dalam piagam, demikian pula hak untuk ikut serta dalam pembelaan komunitas, jika diserang oleh kelompok diluarnya. Dengan demikian, partisipasi dalam penyelenggaraaan kehidupan ekonomi, sosial dan politik terbuka bagi semua orang.
Meskipun dokumen-dokumen yang diwariskan oleh Islam tetap ada dan tetap terpelihara oleh jutaan kaum di seluruh dunia, namun masih saja terdapat anggapan bahwa hak asasi manusia, dianggap seolah-olah sesuatu yang asing dari khazanah peradaban kaum Muslimin. Anggapan seperti itu patut kita sesali, mengingat rujukan akademis dan intelektual di banyak masyarakat Timur hingga sekarang tetap mengacu ke dunia Barat. Sehingga tidak mengherankan jika timbul kritik terhadap kaum intelektual di Asia dan Afrika, dimana mereka dituduh sebgai "orang Barat di negeri Timur". Namun perkembangan yang terjadi dalam masyarkat Islam sekarang ini telah memberikan harapan baru untuk mewarisi tradisi sejarah peradaban umat manusia secara jujur dan berimbang. Penilain seperti itu tentu bukan dimaksud sekedar memenuhi dahaga intelektual kaum cendikiawan, karena langkah selanjutnya adalah bagaimana menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam itu kedalam kehidupan umat manusia dalam mengadapi tantangan zaman.
Seiring berjalannya waktu berbagai dinamika dan dialektika mempengaruhi konsep asasi dari hak asasi manusia, terutama dalam penilaian penerapan hak asasi manusia pada suatu bangsa. Penilaian terhadap pelaksanaan hak asasi manusia di suatu negara, hendaklah dilakukan secara jujur dan proporsional serta dilandasi oleh iktikad yang baik, dengan kesadaran bahwa masalah ini adalah perjuangan kemanusiaan yang sangat penting. Tetapi, adalah tidak jujur dan tidak adil, jika menjadikan isu hak asasi manusia sebagai alat untuk melakukan penekanaan politik terhadap negara-negara berkembang dan negara baru, khususnya di Asia dan Afrika, untuk kepentingan diri sendiri, apalagi dilakukan dengan standar ganda. Lebih buruk lagi jika isu hak asasi manusia dijadikan sebagai “offensif propoganda” untuk menyerang dan memojokkan satu bangsa sambil menyembunyikan dan menutupi kesalahan yang mereka lakukan agar mereka tidak diserang lebih dahulu.[12]
Kebanyakan kaum Muslimin merasakan akibat penerapan standar ganda dibidang hak asasi manusia, sejak terjadinya peristiwa yang disebut sebagai serangan kaum teroris terhadap gedung World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001. Kita dapat memahami penegasan berbagai pihak bahwa perang melawan teroris bukanlah ditujukan kepada kaum Muslimin, karena terorisme dapat dilakukan oleh pemeluk agama apa saja di muka bumi ini. Namun akses negatif terhadap perang terhadap terorisme yang dirancang Amerika Serikat itu kini lebih banyak dirasakan oleh kaum Muslimin dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Akibatnya, tidak jarang  hak asasi manusia mereka abaikan, bahkan dilanggar secara sewenang-wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis, rasialis, xenophobia dan Islamophobia kini seakan-akan muncul lagi dalam percaturan politik antar bangsa. Fenomena ini sangat ironis terjadi di tengah abad yang justru di awal kelahirannya memberikan banyak harapan terhadap penghormatan dan penegakan hak asasi manusia. Dominasi pemberitaan media massa sering pula dimanfaatkan untuk membangun persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdaya melakukan bantahan dan klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.
      Bagi kita Muslimin Indonesia, adalah tugas dan kewajiban kita untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam adalah cinta damai dan agama yang menghormati hak asasi manusia, betapapun kini kita menghadapi kenyataan-kenyataan pahit yang menyesakkan dada. Kita berkewajiban merealisasikan apa yang ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa "kalian adalah sebaik-baik umat (khairah ummah) yang kami tonjolkan kepada semua umat manusia karena kalian selalu mengajak manusia kerah kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah’ (Q.S Ali Imran : 110). Perjuangan kerah itu memang tidak mudah, panjang dan berliku-liku. Namun kaum Muslimin tetap tidak boleh putus asa menghadapi segala kenyataan. Di awal tahun baru ini, masih ada secerca harapan untuk membangun hari depan yang lebih baik.
B.        Penutup.
Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.
Setelah melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang untuk melindungi kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau negara yang cenderung dominan dan terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris.
Hak-hak asasi manusia memperoleh landasan dalam Islam melalui ajarannya yang paling utama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam perspektif theosentris. Walau demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kebebasan manusia. Prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan barat. Wallu a'lam bi al-shawab.  
Daftar Pustaka
al-Bukhari.1978. Shahih al-Bukhari, Juz 15. Bairut: Dar Fikri
Fatah Santoso, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika IX ( 03, 1993)
Gauhar, Altafed. 1978. The Challenge of Islam. London : Islamic Council of Europe dalam Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika IX ( 03, 1993)
Sumantri, M Sri Refleksi HAM di Indonesia
Mahendra,Yusril Izza.2003 .“Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, Volume 1 (Nomor 1, 2003)
M.Timur.1987.  Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia.
Hussain, Syekh Syukat. 1996. Hak asasi Mausia Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Thoyyar, Huzni. 1998. "Polemik hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X, (Februari, 1998)



Catatan Kaki;


[1] Yusril Izza Mahendra, “Konsepsi Islam Tentang HAM dan Persaudaraan”, Jurnal Dirosah Islamiyah, 1, 2003.hal. 134-137
[2]  M.Timur.1987.  Sebuah Dialog tentang Islam dan Hak Asasi Manusia.hal 20.
[3] Sri Sumantri M, Refleksi HAM di Indonesia, hal 1-4
[4]  Altaf Gauhar,Op. Cit. hal. 16
[5]  Syekh Syukat Hussain.1996. Hak asasi Mausia Dalam Islam. Terjemahan Abdul Rahim C.N , Jakarta: Insani Press. Hal. 59
[6]  Huzni Thoyyar. "Polemik hak Asasi manusi, Bagaimana Konsepsi Islam?", Suara Hidayatullah, X, Februari, 1998. hal. 72
[7] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 15. Kitab Hudud (Bairut: Dar Fikri)
[8] Altaf Gauhar, ed. 1978. The Challenge of Islam. London : Islamic Council of Europe dalam Fatah Santosos, Islam dan Hak Asasi Manusia. Akademika, 03, 1993.19.
[9] Ibid. , hal. 14.
[10] Ibid. , hal. 14.
[11] Yusril Izza Mahendra, Op. Cit. hal.141
[12] Ibid. hal. 145

Perempuan dalam Perspektif Islam



Perempuan dalam Perspektif Islam

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).
Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: "Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan."190
Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis: "Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan."191
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu di antaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu. Berikut ini akan dikemukakan pandangan sekilas yang bersumber dari pemahaman ajaran Islam menyangkut perempuan, dari segi (1) asal kejadiannya, dan (2) hak-haknya dalam berbagai bidang.
1.      Asal Kejadian Perempuan
Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga?
Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini. Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak”.
Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء.
“Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).”
Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut. Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."192
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan bahwa:
“Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan”.
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan: Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya." Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari segi asal kejadian dan kemanusiaannya. Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).”
Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih bila memperoleh anak perempuan. Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).
Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).
Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman Allah: Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120). Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
2.      Hak-hak Perempuan
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai ayatnya. Pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan keistimewaan-keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama atau kemanusiaan. Secara umum surah Al-Nisa' ayat 32, menunjuk kepada hak-hak perempuan:
Bagi lelaki hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya dan bagi perempuan hak (bagian) dari apa yang dianugerahkan kepadanya.Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
1.      Hak-hak Perempuan dalam Bidang Politik
Salah satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Kata awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa. Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Muslimah hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.193
Keikutsertaan perempuan bersama dengan lelaki dalam kandungan ayat di atas tidak dapat disangkal, sebagaimana tidak pula dapat dipisahkan kepentingan perempuan dari kandungan sabda Nabi Muhamad saw.:
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”
Kepentingan (urusan) kaum Muslim mencakup banyak sisi yang dapat menyempit atau meluas sesuai dengan latar belakang pendidikan seseorang, tingkat pendidikannya. Dengan demikian, kalimat ini mencakup segala bidang kehidupan termasuk bidang kehidupan politik.194Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selalu melakukannya. Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS 42:38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan. Syura (musyawarah) telah merupakan salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama menurut Al-Quran, termasuk kehidupan politik, dalam arti setiap warga masyarakat dalam kehidupan bersamanya dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah.
Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa setiap lelaki maupun perempuan memiliki hak tersebut, karena tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai melarang keterlibatan perempuan dalam bidang kehidupan bermasyarakat --termasuk dalam bidang politik. Bahkan sebaliknya, sejarah Islam menunjukkan betapa kaum perempuan terlibat dalam berbagai bidang kemasyarakatan, tanpa kecuali. Al-Quran juga menguraikan permintaan para perempuan pada zaman Nabi untuk melakukan bay'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12. Sementara, pakar agama Islam menjadikan bay'at para perempuan itu sebagai bukti kebebasan perempuan untuk menentukan pilihan atau pandangannya yang berkaitan dengan kehidupan serta hak mereka. Dengan begitu, mereka dibebaskan untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami dan ayah mereka sendiri.195
Harus diakui bahwa ada sementara ulama yang menjadikan firman Allah dalam surah Al-Nisa' ayat 34, Lelaki-lelaki adalah pemimpin perempuan-perempuan... sebagai bukti tidak bolehnya perempuan terlibat dalam persoalan politik. Karena --kata mereka-- kepemimpinan berada di tangan lelaki, sehingga hak-hak berpolitik perempuan pun telah berada di tangan mereka. Pandangan ini bukan saja tidak sejalan dengan ayat-ayat yang dikutip di atas, tetapi juga tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang disebutkan itu. Ayat Al-Nisa' 34 itu berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi, termasuk dalam hak pemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani misalnya, dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw. ketika memberi jaminan keamanan kepada sementara orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw. sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan 'Ali ibn Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan Kepala Negara. Isu terbesar dalam peperangan tersebut adalah soal suksesi setelah terbunuhnya Khalifah Ketiga, Utsman r.a. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya itu menganut paham kebolehan keterlibatan perempuan dalam politik praktis sekalipun.
2.      Hak-hak Perempuan dalam Memilih Pekerjaan
Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut".
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis, Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya, yang menginformasikan kegiatan-kegiatan kaum wanita, seperti Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban, dan lain-lain.
Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay196 --istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa'ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya:Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).
Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini.197 Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.198
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digarisbawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini, antara lain, beliau bersabda:
“Sebaik-baik "permainan" seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal/menenun. (Hadis diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dari Abdullah bin Rabi' Al-Anshari).”
Aisyah r.a. diriwayatkan pernah berkata: "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki."
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa "setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkannya kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain". Atas dasar kaidah itu, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih, bukan sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat kita jika kita menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela dan penuntut dalam berbagai bidang.199
3.      Hak dan Kewajiban Belajar
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan... Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar. Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan Muslimah). Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing. Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira' (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i200 (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya. Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama perempuan yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu'nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi.201 Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa', Rabi'ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqarri, dalam bukunya Nafhu Al-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia dikenal dengan nama Al-Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.202
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis: "Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan."203 Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa'iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).”
Maha Benar Allah dalam segala firman-Nya.

Catatan kaki
190 Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.
191 Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar, 1959, h. 193
192 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV, h. 330.
193 Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t., h. 13.
194 Ibid.