I.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Mempelajar proses belajar mengajar
hadits merupakan ilmu pengetahuan yang
penting dalan kehidupan kita, karena hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran.
Hadits merupakan ilmu pengetahuan yang membicarakan
cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW., dari segi hal ihwal
para perawinya,
yang menyangkut kedabitan dan keadilannya dan dari segi bersambung dan
terputusnya sanad dan sebagainya.
Ilmu hadits terbagi dua, yang pertama Ilmu
Hadits
Riwayah, dan yang
kedua Ilmu Hadits Dirayah.
Ilmu Hadits Riwayah ialah Ilmu
pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang di sandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya.
Ilmu Hadits Dirayah ialah Ilmu
pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar,
peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat membedakan antara hadits dan Salih yang disandarkan kepada
Rasul SAW dan hadits
yang diragukan penyandarannya kepadanya.
2. Rumusan Masalah
- Apa Pengertian Ulumul Hadis?
- Apa Pengertian Ilmu Hadis Riwayah?
- Apa Pengertian Ilmu Hadis Dirayah?
- Apa Saja Cabang-cabang Ulumul Hadis?
3. Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang Ulumul
Hadis beserta cabang-cabangnya.
II.
PEMBAHASAN
A. ILMU HADITS
1. PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits,
menurut Ulama Mutaqaddimin adalah: “Ilmu pengetahuan yang
membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW. dari
segi hal ihwal para perawinya, yang menyangkut kedabitan dan
keadilannya dan dari segi bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.
Pada
perkembangan selanjutnya, Ulama Mutaakhirin, membagi Ilmu Hadits ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Mereka memasukkan pengertian yang
diajukan oleh Ulama Mutaqaddim ke dalam pengertian Ilmu Hadits Dirayah.
B.
ILMU HADITS RIWAYAH
- PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits Riwayah, ialah: “Ilmu pengetahuan yang
mempelajari hadits-hadits, yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan taqrir, tabi’at, maupun tingkah lakunya.”
Menurut Ibn Al-Akfani, sebagaimana
yang dikutip oleh Al-sayuthi, bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits Riwayah adalah “Ilmu
hadits
yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan
(periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan penguraian
lafaz-lafaznya”.
Sedangkan pengertiannya menurut
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib yaitu: “Ilmu yang membahas tentang
pemindahan, (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan dan pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah
laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci”
Definisi yang hampir senada
dikemukakan oleh Zhafar Ahmad Ibnu Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id
fi ‘Ulum al-Hadits yaitu: “Ilmu Hadits yang khusus dengan riwayah adalah
ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan Rasul SAW
serta periwayatan, pencatatan, dan pengurauian lafaz-lafaznya”.
Dari ketiga definisi di atas dapat
di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah adalah membahas tentang tata cara periwayatan,
pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Yang dimaksud dengan Ilmu Hadits Riwayah, ialah: “Ilmu pengetahuan yang
mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya”.
Ilmu hadits Riwayah ini sudah ada sejak
Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan dengan mulainya periwayatan Hadits itu sendiri. Para Sahabat Nabi SAW
menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadits Nabi SAW. Mereka berupaya untuk
memperoleh Hadits-Hadits Nabi SAW dengan cara mendatangi
majelis Rasul SAW serta mendengar dan menyimak pesan atau nasehat yang
disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang
mereka berjanji satu sama lainnya untuk secara bergantian menghadiri majelis
Nabi SAW tersebut, manakala diantara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal
tersebut seperti yang dilakukan oleh ‘Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta seorang tetanggaku dari kaum
Ansar, yaitu Bani Umayyah Ibnu Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul
SAW. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa
yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran
dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.”
Mereka juga memperhatikan dengan
seksama apa yang dilakukan Rasul SAW, baik dalam beribadah maupun dalam
aktivitas sosial, dan akhlak Nabi SAW sehari-hari. Semua yang mereka terima dan
dengar dari Rasul SAW mereka pahami dengan baik dan mereka pelihara melalui
hafalan mereka. Tentang hal ini, Anas Ibnu Malik mengatakan: “Manakala kami
berada di majelis Nabi SAW kami mendengarkan Hadits dari beliau; dan apabila kami
berkumpul sesama kami, kami saling mengingatkan (saling melengkapi) Hadits-Hadits yang kami miliki sehingga kami
menghafalnya”.
Apa yang telah dimiliki dan dihafal
oleh para sahabat dari Hadits-Hadits Nabi SAW, selanjutnya mereka sampaikan dengan sangat
hati-hati kepada Sahabat lain yang kebetulan belum mengetahuinya, atau kepada
para Tabi’in. Para Tabi’in pun melakukan hal yang sama, yaitu
memahami, memelihara dan menyampaikan Hadits-Hadits Nabi SAW kepada Tabi’in lain
atau Tabi’ al-Tabi’in. Hal ini selain dalam rangka memelihara kelestarian Hadits Nabi SAW, juga dalam rangka
menunaikan pesan yang terkandung di dalam Hadits Nabi SAW, yang diantaranya ialah: “(semoga)
Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar sesuatu (Hadits) dari kami, lantas ia
menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar, kadang-kadang orang yang
menyampaikan lebih hafal daripada orang yang mendengar”.
Demikianlah periwayatan dan
pemelihara Hadits
Nabi SAW berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadits secara resmi dilakukan pada masa
pemerintah Khalifah ‘Umar Ibnu ‘Abd al-‘Aziz. Usaha tersebut di antaranya
dipelopori oleh Abu Bakar Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri. Al-Zuhri dengan
usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadits Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan
hadits, dia dicatat sebagai Ulama pertama
yang menghimpun Hadits
Nabi SAW atas perintah Khalifah ‘Umar Ibnu ‘Abd al-‘Aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian,
penulisan, dan pembukuan Hadits secara besar-besaran terjadi pada abad ke-3 H yang
dilakukan oleh para Ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu
Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan telah dibukukannya Hadits-Hadits Nabi SAW oleh para Ulama di atas,
dan buku-buku mereka pada masa selanjutnya telah menjadi rujukan bagi para
Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadits Riwayah tidak banyak lagi berkembang.
Berbeda halnya dengan Ilmu Hadits Dirayah, pembicaraan dan perkembangannya tetap barjalan sejalan
dengan perkembangan dan lahirnya berbagai cabang dalam Ilmu Hadits. Dengan demikian, pada masa
berikutnya apabila terdapat pembicaraan dan pengkajian tentang Ilmu Hadits, maka yang dimaksud adalah Ilmu
Hadits
Dirayah, yang
oleh para Ulama Hadits
disebut juga dengan ‘Ilmu Mushthalah al-Hadits atau ‘Ilmu Ushul al-Hadits.
2.
OBJEK KAJIAN
Objek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah hadits Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup :
a.
Cara periwayatan hadits,
baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga cara penyampaiannya dari seorang
perawi kepada perawi yang lain;
b.
Cara pemeliharaan Hadits,
yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
Sedangkan tujuan dan urgensi ilmu
ini adalah pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia, serta terhindar
dari kekeliruan dan kesalahan dalam proses periwayatannya atau dalam penulisan
dan pembukuannya. Dengan demikian, Hadits-Hadits Nabi SAW dapat terpelihara kemurniannya dan dapat di
amalkan hukum-hukum dan tuntunan yang terkandung didalamnya, yang hal ini
sejalan dengan perintah Allah SWT agar menjadikan Nabi SAW sebagai ikutan dan
suri teladan dalam kehidupan ini.
C.
ILMU HADITS DIRAYAH
- PENGERTIAN
Para Ulama memberikan definisi yang
bervariasi terhadap Ilmu Hadits Dirayah ini. Akan tetapi, apabila dicermati definisi-definisi yang
mereka kemukakan, terdapat titik persamaan di antara satu dan yang lainnya,
terutama dari segi sasaran kajian dan pokok pembahasannya.
Ibnu al-Akfani memberikan definisi Ilmu
Hadits
Dirayah sebagai
berikut: “Dan Ilmu Hadits yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan
hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Adapula Ulama yang menjelaskan,
bahwa Ilmu Hadits Dirayah ialah: “Ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat
membedakan antara hadits dan Salih yang disandarkan kepada Rasul SAW dan hadits yang diragukan penyandarannya
kepadanya”.
Uraian dan elaborasi dari definisi
di atas diberikan oleh imam al-Suyuthi, sebagai berikut:
Hakikat Riwayat, adalah kegiatan periwayatan Sunnah (Hadits) dan penyandarannya kepada orang yang meriwayatkannya
dengan kalimat tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddsana fulan”, (telah
menceritakan kepada si Fulan). Atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbaran
fulan”, (telah mengabarkan kepada kami si Fulan).
Syarat-syarat periwayatan, yaitu Al-Sama’ (mendengar),
Al-Qira’ah (membaca), Al-Ijazah (perizinan), Al-munawalah
(member), Al-Mukatabah (menulis), Al-I’lam (memberitahukan), Al-Wasiyah
(wasiat), dan yang terakhir ialah Al-Wijadah (penemuan).
Macam-macam riwayat, adalah, seperti periwayatan muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai
dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir, atau mungathi’, yaitu pariwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah,
atau di akhir, dan selainnya.
Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu
diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd,
yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
Definisi yang lebih ringkas namun
komporensif tentang Ilmu Hadits Dirayah dikemukakan oleh M. ‘Ajjaj al-Khathib, sebagai berikut: “Ilmu
Hadits
Dirayah adalah kumpulan-kumpulan kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk
mengetahi keadaan rawi dan narwi dari segi diterima atau ditolaknya.
Al-Khathib lebih lanjut menguraikan
definisi di atas sebagai berikut:
Al-rawi atau perawi, adalah orang yang meriwayatkan atau menyampaikan Hadits dari satu orang kepada orang
lainnya; al-marwi adalah segala sesuatu yang diriwayatkan, yaitu suatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW atau kepada yang lainnya, seperti Sahabat atau
Tabi’in; keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah,
mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh atau ta’adil ketika
tahammul dan adda’ al-Hadits, dan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya dalam kaitannya dengan ittishal al-sanad (persambungan
sanad) atau terputusnya, adanya i’llat atau tidak, yang menentukan diterima
atau tidaknya suatu Hadits.
2.
OBJEK KAJIAN
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa objek pembahasan Ilmu
Hadits
Dirayah adalah
keadaan para perawi
dan marwinya. Keadaan para perawi, yaitu penyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabiat,
dan keadaan pahalannya sanad. Adapun keadaan marwi, yaitu dari sudut
kesasihan dan kedaifannya, maupun dari sudut lain yang berkaitan dengan keadaan
matan.
Adapun
objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadits Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas,
adalah sanad dan matan Hadits.
Pembahasan
tentang sanad meliputi:
a.
Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu
rangkaian sanad Hadits haruslah
bersambung mulai dari Sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menuliskan
atau membukukan Hadits
tersebut; oleh karyanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut
yang terputus, tersembunyi tidak diketahui identitasnya atau tersamar.
b.
Segi keterpercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yaitu bahwa setiap
perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadits harus memiliki sifat Hadits atau dhabith (kuat dan
cermat hafalan atau dokumentasi Haditsnya).
c.
Segi keselamatannya dari kejanggalan (syadz).
d.
Keselamatan dari cacat (i’llat).
e.
Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan
pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahi-han atau
ke-dha’ifan-nya. Hal ini dapat terlihat melalui kesejalanannya dengan
makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al-Quran, atau selamatnya:
- Dari kejanggalan redaksi (rakyat al-faz).
- Dari cacat atau kejanggalan pada maknanya (lafaz al-ma’an), karena bertentangan dengan akal dan pancaindera, atau dengan fakta sejarah.
- Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
Tujuan
dan urgensi Ilmu Hadits Dirayah adalah untuk mengetahui dan menetapkan Hadits-hadits yang Maqbul (yang dapat
diterima sebagai dalil atau untuk diamalkan) dan yang Mardud (yang ditolak). Dengan
mempelajari Ilmu Hadits Dirayah ini, banyak sekali faedah yang diperoleh, antara lain;
- Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadits dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang
- Dapat mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadits
- Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para Ulama dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
- Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristimbat.
Dari
beberapa faedah di atas, apabila diambil intisarinya, maka faedah mempelajari
Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apabila ia maqbul
(diterima) dan mardud (ditolak), baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.
D. CABANG-CABANG ILMU HADITS
1.
IImu Rijalil Hadis
علم يبحث فيه عن رواة الحديث من
الصحابة والتابعين ومن بعدهم
Artinya:
"Ilmu
yang membahas tentang kaadaan para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi'in,
maupun dari angkatan sesudahnya ."
Dengan
ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari
Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan
seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup
para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para
perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh
penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri
dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad
merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini
banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para
sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada
yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan
riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para
pemuat hadis maudlu'. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan
sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu
serta martabat perkataan.
Ada
yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam
ilmu hadis disebut Mu'talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama
perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini
banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan
nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam
sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad
ibnu Uqail. Ini dinamai Mutasyabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di
samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam
satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama
telah berusaha menyusun kitab-kitab yang dibutuhkan. Permulaan ulama yang
menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian
usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa
ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463
H). Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada
permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan
kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang
dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir
pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh
Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah
itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun
kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan
Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam
kedua kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab
Ainul Ishabah.
Al-Bukhari
dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang
hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan. Kemudian, dalam bab
ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab
yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
Ilmu
Rijal al-Hadits ini dibagi menjadi beberapa bagian. Antara lain adalah Ilmu
Tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Titik tekan kedua ilmu ini
berbeda. Ilmu Tarih al-Rawi memfokuskan pembahasannya pada sejarah perjalanan
hidup perawi, misalnya kapan seorang rawi itu dilahirkan, di mana, kepada siapa
dia berlajar hadits, siapa saja gurunya, memiliki berapa murid hadits, siapa
saja mereka itu, pernah melakukan perlawatan untuk mencari hadits ke mana saja,
dimana ia tinggal dan sebagainya. Sedangkan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, lebih
menfokuskan kepada kritik perawi; apakan seorang perawi itu adil, kapasitas
intelektualnya sehat apa tidak , Jadi titik tekannya pada kualitas pribadi dan
kapasitas intelektualnya.
2.
Ilmul Jarhi Wat Ta’dil
Ilmu
Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil
hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka
ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan
ilmul jarhi wat takdil ialah:
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم
بألفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الألفاظ
Artinya:
"Ilmu
yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan
tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu[9]. "
Yang
menjadi pembahasan ilmu ini pada prinsipnya adalah melakukan telaah terhadap
keadilan dan kedhabitan para perawi hadits. Jadi intinya membicarakan kualitas
pribadi perawi dan kapasitas intelektualnya
Mencacat
para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak
terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut
keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah
menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para
sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H),
Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Sedangkan
dari kalangan tabi'in antara lain ialah Asy Sya’bi(103 H), Ibnu Sirin (110H),
Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang
dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang
lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena
me-rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa
kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Sesudah
berakhir masa tabi'in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai
menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menta’dil(menilai adil) dan
menajrihkan(menilai cacat) mereka. Di antara ulama besar yang memberikan
perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur
Rachman ibnu Mahdi (198 H)", sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud
At-Thayalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para
ahli menyusun kitab-kitab jarah dan ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan
para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di
antara pemuka-pemuka al-jarah dan al-ta’dil ialah Yahya ibnu Main (233 H),
Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H),
Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu,
Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu
Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian
pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi,
hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kitab-kitab
yang disusun mengenai al-Jarh wa al-Ta’dil, ada beberapa macam. Ada yang
menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang
yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang
melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu
kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di
antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad
Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama
sahabat nama-nama tabi'in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula
beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari,
Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi
ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara
kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab
As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu
Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan
tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini,
di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara
kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab
Ad-Dhuafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Dhu’afa karangan ibnul Jauzi (587
H)
Kitab
yang menggabungkan antara ilmu tarih al-Rawi dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil,
antara lain ialah kitab Tahdzib al_kamal fi Asma al-Rijal karya Abu Al-Hajjaj
Yusuf bin al-Zaki al-Mizzi, dan kitab Tahdzib al-Tahdzib karya Ibnu Hajar
al-Atsqalani
Sedangkan
lambing-lambang yang dipergunakan untuk menta’dil adalah :
ثقة ثقة , ثقة ثبت , ثبت ثبت , ثقة ,
ثبت , حجة , صدوق , متقن , صالح الحديث , حسن الحديث , مأمون , شيخ , وسط , لا بأس
به
Adapun
lafadz/ lambing yang diginakan mentajrih adalah sebagai berikut :
أوضع الناس , أكذب الناس , كذاب,
دجال, متهم بالكذب, فلان ساقط, متروك الحديث, ضعيف, مردود الحديث, فلان لين, ليس
بقوي,
Selanjutnya,
jika dalam penilaian para ulama terdapat perbedaan, artinya ketika terjadi
penilaian yang berbeda di kalangan para ulama terhadap seorang perawi, maka ada
beberapa teori[10] :
1. التعديل مقدم على الجرح
2. الجرح مقدم على التعديل
3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم
للمعد ل الا اذا ثبت الجرح المقسر
4. لا يقبل الجرح الا بعد التثبت خشية
الاشباه في المجروحين
3. Ilmu fannil
Mubhamat
Ilmu yang dengannya diketahui nama orang-orang yang tidak disebut namanya di
dalam matan atau di dalam sanad
4.
IImu Illail Hadis
علم يبحث فيه من اسباب غامضة خفية
قادحة في صحة الحديث
Artinya:
Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
mencacatkan hadis.
Yakni
menyambung yang munqati’, merafa’kan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam
hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat
merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu
ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan
sehalus-halusnya. Cacat hadits yang demikian ini tidak dapat diketahui
melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang
martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan
matan-matan hadis.
Di
antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim
(327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu,
ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357
H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
5.
Ilmu gharibil hadits, ialah :
عِلْمٌ
يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فى متون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ
الْعَرَبِيَّةِ
عَنْ
أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ .
“Ilmu
yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar
diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
6.
. Ilmu Nasikh wal Mansukh
علم يبحث فيه عن الناسخ والمنسوخ من
الحديث
Artinya:
"ilmu yang
menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. "
Apabila
didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka
hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya,
tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika
tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian
itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak
para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam'uh ini, di antaranya Ahmad
ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad
ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi
yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya,
yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu
Abdil Haq (744 H) .
7.
. Ilmu Talfiqil Hadis
عام يبحث فيه عن التوفيق بين الأحاديث
المتناقضة ظاهرا
Artinya:
"Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan(mempertemikan) hadis-hadis
yang(secara lahiriyah) isinya tampak berlawanan. "
Secara
umum metode penyelesaian dengan cara ini mirip dengan metode al-Jam'u yang
telah berkembang di kalangan ulama hadis. Metode ini meliputi :
a.
Penyelesaian berdasar pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul fiqh. Cara
mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang 'amm, atau menaqyidkan yang
mutlak, atau dengan mentafsil yang mujmal
b.
Penyelesaian berdasar pemahaman kontekstual.
c.
Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif.
d.
Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan ta'wil.
e.
Penyelesaian berdasarkan pemahaman tanawu' al-ibadah[14]
Ilmu
ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang
telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu
Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama
At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan
baik sekali nilainya.
8.
Ilmu Tashrif wat Tahrif
Yaitu Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya(yang
dinamai mushaf), dan bentuknya dinamai muharraf.
9.
Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله
الحديث والزمان الذي جاء فيه
Artinya:
"Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menurunkan itu."
Penting
diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu
Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. UIama yang mula-mula
menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar
Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan
pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al
Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada
tahun 1329 H
10.
Musthalah Ahli Hadits
Yaitu Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian(istilah-istilah) yang dipakai
oleh ahli-ahli hadits.
KESIMPULAN
Ada
beberapa tokoh yang menjelaskan pengertian Ilmu Hadits Riwayah:
a.
Menurut Ibn Al-Akfani adalah Ilmu hadits yang khusus berhubungan dengan Riwayah adalah ilmu
yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, dan
penguraian lafaz-lafaznya”.
b.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib yaitu: “Ilmu yang membahas tentang
pemindahan, (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW,
berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan dan pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah
laku (akhlak) dengan cara yang teliti dan terperinci”
c.
Zhafar Ahmad Ibnu Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi yaitu: “Ilmu Hadits yang khusus dengan Riwayah
adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan dan keadaan
Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan pengurauian lafaz-lafaznya”.
Dari
ketiga definisi di atas dapat di pahami bahwa Ilmu Hadits Riwayah adalah membahas
tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan hadits Nabi SAW.
Ibnu
al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadits Dirayah sebagai berikut: “Dan Ilmu Hadits yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan
hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya”.
Adapula
Ulama yang menjelaskan, bahwa Ilmu Hadits Dirayah ialah: “Ilmu pengetahuan yang membahas
tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami
dapat membedakan antara hadits dan Sahih yang disandarkan kepada Rasul SAW dan hadits yang diragukan penyandarannya
kepadanya”.
DAFTAR PUSTAKA
ü Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Pustaka Firdaus.
Jakarta: 2002
ü Mudasir H. Ilmu Hadis. CV
Pustaka Setia. Bandung 1999
ü Suparta, Munzir. Ilmu Hadis. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta 2002
ü Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Mutiara
Sumber Widya. Jakarta: 2001
Tidak ada komentar :
Posting Komentar